Adat Istiadat Kultur Sosial Budaya dan Kesenian Sunda

Berbagi Pengetahuan dan Informasi
Akibat terjadinya bencana Sungai Cijolang

Akibat terjadinya bencana Sungai Cijolang

Dengan adanya peristiwa terjadinya bencana Alam ini maka terjadilah hal-hal sebagai berikut:
Pemukiman Kampung tangkolo terpecah menjadi 2 bagian, sebagian berubah bentuk datarannya yang semula bagaikan tanjung yang menjorok kelaut dangkal, sekarang menjadidelta baru yang di bentuk oleh sungai Cijolang lama dengan aliran airnya yang sudah mengecil. Sungai Cijolang sekarang di tempat rangkasnya masih agak sempit, tetapi menurun tajam dengan arus yang deras dan aliran air yang cukup besar dibandingkan dengan air Cijolang terdahulu. Dengan demikian maka delta ini seperti Nusa atau Pulau kecil yang dikelilingi oleh sungai besar.

 

Muncul nama suatu tempat penyebrangan di sungai baru, yang semula tidak ada sekarang menjadi ada yaitu masyarakat sekitar menyebutnya dengan nama Rarangkasan. Yang berarti bekas rangkasnya/jebolnya sungai Cijolang.

 

Lahirlah sebuah nama bukit baru yang di sebut Pasir Buntu yang berarti bukit buntu, Bukit yang terputus karena bencana alam. Bukit yang terputus ini semula memanjang dari gunung Susuh, dan sekarang tidak ada lagi sambungan atau terusannya, dan berhneti atau buntu hanya sampai di rarangkasan.

 

Tempat pemakaman di bagian selatan yang ada sekarang, dahulunya adalah satu kesatuan dengan pasir buntu bukit di sebrangnya yang ada di bagian utara. Lebih tepatnya tempat pemakaman ini adalah pecahan bukit yang tersisa, sebagai salah satu bagian yang terputus dari bukit induknya menjadi bukit yang berdiri sendiri menjadi gunung yang terpisah.

 

Kampung Tangkolo terpecah menjadi dua bagian, utara dan selatan. Sehingga yang dulunya satu kesatuan, kini terpisah antara satu dan lainnya karena sudah terbelah oleh sungai Cijolang yang baru atau sekarang.

 

Di tempat rangkas/jebolnya sungai terbentuklah suatu lubuk atau leuwi dengan kedalaman mencapai 5-7 meter, yang akhirnya dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan Leuwi Rarangkasan. Tepatnya berada di bawah kolong jembatan penghubung kedua pemkiman yang ada di tangkolo sekarang.

 

Dibagian sebelah timur sungai mulai dari rangkasan sampai pada ujung pertemuan antara sungai cijolang baru dengan sungai cijolang lama, terjadi penimbunan pasir sungai yang cukup tebal dengan areal yang cukup luas, sehingga merupakan suatu peralatan padang pasir sungai yang memanjang dan disebut dengan istilah Palatar kaji. Ketebalan palatar kaji ini  dibentuk oleh tanah urug atau longsor dari rarangkasan. Kemudian lagi dipertebal dengan tanah yang terkikis oleh derasnya arus air banjir dari dasar sungai baru. Ditambah pula dengan naiknya pasir sungai yang semula terbendung di bagian hulu sebelum rangkas, beralih ke palataran hilir dan palataran inilah yang akhirnya menjadi cikal bakal lapangan Sepak Bola Tangkolo.

 

Dengan rangkasnya sungai Cijolang, bentuk sungai menjadi berubah. Yang semula melingkar ke arah barat sekarang berpindah menjadi lurus, dengan demikian sungai Cijolang bagaikan ular raksasa yang menggeliat dari tidur dan meluruskan badannya, sehingga membawa perubahan terhadap kontur struktur tanah daratan semula.

 

Bekas sungai Cijolang lama sudah tidak lagi di aliri air, tetapi sekarang menjadi bulakan yang berpasir dan berbatu-batu. Atas kesepakatan dari dua kabupaten yang bersangkutan (yaitu Kuningan dan Ciamis), tanah bekas sungai Cijolang lama sepanjang dari rarangkasan  sampai ke sungai Cigintung, sekarang dibagi menjadi dua bagian dengan cara di buatkan patok-patok kesepakatan sebagai batas baru  kabupaten. Batas alam kedua kabupaten pun menjadi berubah, yang semula sungai Cijolang sebagai batas alam, kini diganti menjadi patok baru di tengah-tengah bekas sungai yang sekarang sudah menjadi area pesawahan, meskipun batas wilayah di peta bumi jawa Barat masih tergambar sungai Cijolang sebelum rangkas atau jebol.

 

Pesawahan bekas sungai Cijolang yang telah pecah menjadi dua bagian itu, oleh masyarakat setempat disebut dengan nama Sawah Walungan, baik yang masuk ke wilayah kabupaten Ciamis maupun yang masuk ke wilayah kabupaten  Kuningan.

 

Tanah-tanah sepanjang garis pantai yang tertutup pasir sungai yang terbentuk oleh sungai Cijolang lama di bagian selatan, yang semula disebut Palatar, selanjutnya sebutannya berubah, oleh masyarakat setepat disebut dengan Palatar Hampelas karena di sepanjang palatar lama ini bnayak di tumbuhi pohon-pohon hampelas. lama kelamaan palatar hampelas menjadi kebun pandan, dan sekarang sebagian sudah menjadi jalan keliling yang bisa dilalui oleh kendaraan roda empat.

 

Di sawah palatar yang sekarang, masih terdapt sisa-sisa sawah yang masuk ke wilayah Ciamis yang terputus oleh rangkasnya sungai Cijolang. Meskipun pemilik sawah itu sekarang adalah orang Tangkolo, segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah administrai pemerintahan harus di selesaikan melalui kabupaten Ciamis.

Yang jelas, sekarang masih ada sisa-sisa peristiwa rangkasnya sungai Cijolang, dan melekat di masyarakat, terdapat dalam istilah Rarangkasan, Pasir Buntu, Palatar Kaji, Sawah Walungan, Palatar Hampelas, dan tanah ciamis yang tersisa di palataran wilayah Kuningan. Batas Kabupaten Kuningan Dan Kabupaten Ciamis tidak menggunakan batas alam, akan tetapi menggunakan tanggul sawah. Berbeda dengan batas yang ada di peta Negara kita yang digambarkan bahwa batas kedua wilayah kabupaten tetap masih Cijolang lama, dengan anggapan bahwa Tangkolo yang menempel dengan Wilayah Ciamis, sekarang dianggap masih menjadi satu kesatuan tanahnya secara utuh seperti dulu kala.

Rangkasnya cijolang sebenarnya bukan hanya terjadi di kampung Tangkolo, tetapi sudah pernah terjadi juga di masa sebelumnya, yaitu rangkasnya Cijolang di daerah kamuning(Ciamis), yang sekarang meninggalkan sisa kampung Tayeum. Di sini pun batas antar kedua kabupaten tidak lagi menggunakan batas alam, akan tetapi sama juga yaitu dengan menggunakan patok-patok, karena tanah kamuning tetap masih masuk ke wilayah Kabupaten Kuningan.

Penuturan rangkasnya cijolang ini di dasarkan pada penjelasan yang dituturkan oleh Nenenda Djumi Murhawi, yang dikenal masyarakat Tangkolo dengan sebutan Indung Suti (Alm) yang menurut pengakuannya menyaksikan peristiwa rangkasnya Sungai Cijolang. Pada waktu itu Beliau usianya sekitar 18 tahun, karena pada waktu peristiwa itu berlangsung beliau juga ikut secara aktif memindahkan adik-adiknya yang masih kecil dan menyelamatkan barang-barang yang ada di dalam rumahnya serta mengangkutnya ke tempat yang lebih tinggi.

Disamping dari penuturan Nenenda Djumi Murhawi, keterangan ini juga di tambahkan dari Bapak Aki madnawi (Alm), yang dikenal dengan sebutan Bapak uwi. Menurut penuturannya, pada waktu terjadinya Cijolang rangkas, Dia menyaksikan tetapi saat it masih anak-anak, namun sudah bisa membantu Orang tuanya menyelamatkan barang-barang yang ada di rumahnya kala itu.
Sungai Cijolang Rangkas

Sungai Cijolang Rangkas

Atas kehendak Illahi rabb pada suatu malam telah terjadi bencana alam dengan turunnya hujan lebat yang luar biasa, sehingga air sungai Cijolang meluap tinggi naik melampaui kapasitas daya tampung sungai. Sehingga menggenangi seluruh bagian dataran yang rendah, mulai dari pesawahan, perkampungan, bahkan termasuk bagian bukit yang paling rendah.

Akibat kuatnya tekanan air sungai, tanah genting pada bagian bukit yang tipis dan sekaligus menjadi satu-satunya dinding penyekat antara sungai di bagian hulu dan sungai di bagian hilir sedikit demi sedikit terkikis habis di ikuti dengan longsoran tanah yang begitu dahsyat. Dan pada akhirnya bagian bukit yang paling rendah dan paling tipis itu jebol atau dalam bahasa sundanya (Rangkas). Setelah kejadian itu, sungai Cijolang itu pun berpindah tempat, yang semula melingkari kampung di bagian barat dan selatan, kini beralih ke bagian tengah pesawahan yang rendah di sebelah Timur, mulai dari tempat rangkas sampai bertemu lagi dengan sungai semula di muara sungai Cigintung sekarang. Sungai yang semula melingkari kampung Tangkolo kini berubah menjadi lurus membelah kampung semula.

Rangkasnya/jebolnya sungai Cijolang di malam hari itu terjadi menjelang pagi hari. Diawali dengan turunya hujan lebat dari mulai sore hari secara terus menerus yang di ikuti dengan banjir besar yang naik ke perkampungan warga. Dimalam hari dikala masyarakat sedang tidur beristirahat, dan sebagian orang-orang yang sedang melaksanakan Tugas Ronda mendengar suara ledakan keras disertai suara gemuruh air yang memuncak, sehingga seluruh warga kampung tangkolo terasa bergetar bagaikan mengalami guncangan akibat dari gempa bumi.

Dengan terdengarnya ledakan ini, seluruh masyarakat yang sedang tidur di bangunkan oleh para petugas ronda di iringi dengan bertalu-talunya suara kentongan yang di pukul keras secara terus-menerus agar semua penduduk yang ada di dalam rumah bangun dan keluar rumah.setelah bunyi ledakan keras terdengar, air banjir semakin meluap ke perkampungan warga dengan kondisi hujan yang masih belum mereda. Sesampainya di pagi hari penduduk setempat tidak bisa tidur karena harus menyelamatkan barang-barang yang mungkin hanyut terkena sapuan air banjir dan siap untuk menjaga segala kemungkinan yang mungkin akan terjadi.

Menurut penuturan para sesepuh dari Baregbeg Tambak Sari kabupaten Ciamis, rangkasnya sungai Cijolang pada hari kamis Bulan Syawal Mulud tahun 1886 Masehi yang didahului dengan terjadinya hujan yang terus menerus selama tujuh hari terakhir, menyebabkan semua perlengkapan rumah seperti kasur, hewan ternak, dan lain-lain harus di pindahkan ke tempat yang lebih tinggi. Pada waktu itu di perkirakan ketinggian air menggenangi perkampungan sekitar 80cm.

Pada pagi harinya penduduk dapat mengetahui persis dan menyaksikan keadaan yang sebenarnya terjadi, bahwa sungai Cijolang sudah rangkas akibat luapan air sungai. Penduduk baru bisa mengetahuinya setelah hari mulai terang, karena pada waktu malam harinya penduduk tidak ada yang bisa melihat lokasi kejadian itu dari dekat sehubungan dengan luapan air yang tinggi dan gelapnya malam.

Mengenai kepastian tanggal dan bulan masehi yang tepat saat terjadinya rangkasnya sungai cijolang belum ditemukan catatannya, namun salah seorang diantara orang tua di kampung Bantar Dendeng dan pernah menjadi Ngabihi di Desa bantar Dendeng, masyarakat setempat menyebutnya dengan nama si banjir, karena pada saat kelahirannya berbarengan dengan peristiwa banjir di kampung Tangkolo, sehingga namanya yang aslinya tidak diketahui oleh orang banyak.

Back To Top