Adat Istiadat Kultur Sosial Budaya dan Kesenian Sunda

Berbagi Pengetahuan dan Informasi
Pergeseran Pemukiman Para Petani

Pergeseran Pemukiman Para Petani

Akibat adanya pergeseran tempat tinggal, yang mulanya hanya satu dua rumah saja yang berpindah, akhirnya seluruh pemukiman penduduk berpindah tempat dari Kiara Beas menuju ke arah selatan  secara keseluruhan. Maka terjadilah penggabungan penduduk. Penggabungan ini bukan hanya dari Kiara Beas saja, namun di ikuti pula oleh penduduk yang terpencar di beberapa kelompok lainnya, yang tadinya terpisah dan bertebaran dimana-mana, sekarang berhimpun ke dalam satu kelompok yang berada di wilayah selatan semua. Akhirnya para pemukim gabungan yang semula bertebaran ini menjadi satu kesatuan kelompok penduduk yang menjadi cikal bakal penduduk Kampung Tangkolo.
Terbentuknya Kampung Tangkolo

Terbentuknya Kampung Tangkolo

Penduduk awal Kampung Tangkolo
Perkiraan awal abad ke-18 pemukiman petani yang berdektan  dengan sungai cijolang yang selanjutnya oleh penduduk setempat disebut Kampung Tangkolo ini baru dihuni oleh Tujuh kepala keluarga. Ketujuh kepala keluarga ini kemungkinan berasal dari satu keluarga, kehidupan mereka sehari-harinya adalah bertani dengan kebudayaannya adalah Islam.
Buyut Jamudin
Berdasarkan dengan cerita yang dituturkan oleh para orang tua, pada suatu waktu Kampung Tangkolo kedatangan seorang tamu yang mengaku bernama Jamudin. Selanjutnya Jamudin ini menjadi penduduk Kampung Tangkolo karena Dia tidak kembali pulang lagi ke kampung asalnya, hingga akhirnya Jamudin menikah dengan penduduk Kampung Tangkolo.

Menurut pengakuan Jamudin, Dia berasal dari Kesultanan Cirebon, tetapi sebagian orang tua menyatakan bahwa Jamudin itu sebenarnya berasal dari mataram. Kalau Jamudin berasal dari  keturunan mataram, ada kemungkinan keturunan dari sisa-sisa laskar Sultan Agung Mataram yang bertebaran di sepanjang pantai utara Jawa Barat. Para laskar pejuang mataram yang tidak kembali ini dinyatakan dalam sejarah  bahwa mereka mendapat perlindungan dari Sultan Cirebon. Sisa-sisa laskar Sultan Agung yang mendapat perlindungan ini di tempatkan di suatu tempat pemukiman yang telah ditentukan oleh Sultan, antara lain di Kecamatan Gegesik sekarang dekat dengan wilayah Palimanan Cirebon.

Jamudin rupanya pemuda yang tinggi ilmunya, mempunyai beberapa keistimewaan, diantaranya mempunyai ilmu pelindung diri yaitu ilmu kekebalan tubuh dan dapat menghilang dengan cepat apabila bertemu dengan musuhnya. Jamudin ini selanjutnya di kemudian hari oleh masyarakat dikenal dengan nama “Buyut Jamudin”. Ternyata Beliau adalah salah seorang diantara kelompok yang menentang pemerintahan Kolonial Belanda, sehingga Beliau senantiasa dikejar dan di cari keberadaannya serta di ikuti kemanapun Dia pergi, dan diawasi segala sepak terjangnya. Oleh karena itu kedatangannya di Kampung Tangkolo rupanya dalam rangka menyembunyikan dirinya dari kejaran pemerintahan Kolonial Belanda.

Setelah sekian lama jamudin bersembunyi di Kampung Tangkolo, akhirnya Kolonial belanda dengan segala daya upaya dapat mencium keberadaannya, sehingga Pemerintah Kolonial Belanda yang berada di Ciamis berusaha masuk ke Kampung Tangkolo dengan cara diam-diam untuk mencoba menangkap Jamudin.

Sebelum Belanda datang, Jamudin sebenarnya sudah mempunyai firasat akan ditangkap. Karena sebelumnya Jamudin pernah berkata kepada  teman-teman sejawatnya bahwa kita akan kedatangan tamu yaitu Belanda dan akan menangkap dirinya. Jamudin berpesan kepada para pemuda teman sejawatnya, atas kedatangan belanda ini kita sambut dengan baik-baik saja, tidak boleh menggunakan kekerasan, karena kita tidak akan mampu memberikan perlawan penuh kepada mereka.

Sesuai dengan perkiraan yang sudah menjadi firasat Jamudin, akhirnya Belanda dating dari arah selatan dari kabupaten Ciamis. Jamudin tentu saja sudah siap menghadapi Belanda dengan menggunakan segala ilmu yang dimilikinya, diantara lain membaca mantra-mantr untuk memainkan ilmu dalamnya dan sekaligus memakai baju Kere warisan yang dimiliki leluhurnya, sehingga Jamudin dapat menghilang dengan cepat dan tidak dapat dilihat oleh Belanda serta selamatlah Beliau dari kejaran musuh.

Pemerintah Belanda merasa kecewa karena gagalnya menangkap tokoh Jamudin yang sudah diyakini mereka keberadaannya di kampung Tangkolo. Meskipun demikian, Jamudin tetap sebagai musu yang dicari dan harus ditangkap karena dimanapun dia berada akan merugikan Pemerintah Kolonial Belanda. Segala kegiatannya selalu di curigai karena selalu mengobarkan semangat perjuangan untuk melawan Kolonial Belanda sengan segala cara, termasuk mengerahkan masyarakat dalam setiap kesempatan dengan cara yang licin dan halus serta diyakini oleh para pemuda akan kebenaran ucapan Jamudin.  Mereka dipersiapkan secara matang, apabila disuatu saat sudah mempunyai kekuatan kita bersama-sama akan berjuang dengan pemuda-pemuda lainnya diluar Kampung Tangkolo untuk melawan kepada penjajah Belanda.

Pada akhir masa tuanya Jamudin merasa bahwa mungkin umurnya sudah tidak lama lagi, oleh karena itu ilmu yang dimilikinya harus segera dilepaskan dari dirinya dan kemudian diwariskan kepada anak-anaknya, serta anak buahnya sebagai bekal untuk melanjutkan perjuangan melawan penjajah belanda. Namun demikian salah satu diantara senjata yang dimilikinya yaitu Baju Kereb tidak diberikan kepada siapapun, sebab baju itu tidak boleh jatuh kepada sembarang orang, yang menurut penilaian beliau belum pantas untuk memilikinya.
 

Di saat-saat Buyut Jamudin sudah lanjut usia dan keadaan fisiknya juga semakin lemah serta dirinya juga sudah merasa aman dari kejaran belanda, maka kewaspadaan dan keteguhan untuk tetap memegang senjata baju kere-nya itu agak mengendur. Dalam kondisi pikiran dan kondisi fisik Buyut Jamudin yang sering sakit-sakitan, akhirnya pada suatu hari buyut Jamudin kedatangan seorang tokoh masyarakat dari dusun tetangga di seberang sungai Cijolang yang menyatakan hasrat dirinya untuk memiliki Baju Kere yang menjadi senjata andalan Buyut Jamudin untuk digunakan sebagai alat bela diri dalam melanjutkan perjuangannya menghadapi penjajah Belanda.

Tamu itu datang kepada beliau dengan penuh rasa hormat, disamping menyatakan kesiapanya untuk melanjutkan perjuangan Buyut Jamudin, juga mengajukan penawaran kepada Buyut Jamudin sebagai ungkapan rasa terimaksihnya dan rasa hormat serta penghargaan, yang bersangkutan akan menyerahkan tujuh ekor kerbau miliknya kepada Buyut jamudin apabila baju Kere milik Jamudin diberikan kepadanya. Buyut Jamudin dengan senang hati dan tulus ikhlas akhirnya menyerahkan Baju Kere miliknya dan bersedia menerima imbalan yang ditawarkan, disertai dengan amanat Jamudin bahwa Baju Kere ini tidak boleh dipergunakan oleh sembarang orang, karena ini hanya boleh digunakan oleh petinggi Negara yang apabila dalam keadaan terpaksa karena mendapat gangguan keamanan bagi dirinya.


Berita tukar menukar Baju Kere dengan tujuh ekor kerbau ini pada akhirnya sampai terdengar oleh pemerintah Belanda di Ciamis, sehingga dengan dilepaskannya baju Kere oleh Buyut Jamudin belanda mengetahui kelemahan diri buyut Jamudin. Karena itu pihak Belanda menemukan jalan dan berani menangkap Buyut Jamudin yang selama ini telah menjadi buronan mereka.

Pada saat yang bersamaan pemerintah Kolonial Belanda di Ciamis mendapat laporan bahwa salah seorang penduduk tetangga kampong Tangkolo ada yang kehilangan dua ekor kerbau. Hal ini kontan membuat pemerintah Belanda mengerahkan orang-orang kepercayaannya untuk menangkap pencurinya. Setelah dicari kemana-mana trnyata dua ekor kerbau ini ada dikandang kerbau milik Buyut Jamudin, sehingga jumlah kerbau yang ada di kandang bukan tujuh lagi, melainkan ada Sembilan ekor kerbau. Dengan bertambahnya dua ekor kerbau yang disebut hasil curian itu, mungkin hanya sebagian siasat kecil saja dari pihak belanda demi memudahkan penangkapannya terhadap Buyut Jamudin. Hal ini mereka lakukan dengan menyuruh pencuri bayaran untuk menyelundupkan dua ekor kerbau ke kandang kerbau milik Buyut Jamudin.

Kondisi Buyut jamudin saat itu sudah tidak bias menghilang lagi seperti pada peristiwa penangkapan sebelumnya, karena semua ilmu kekebalannya sudah dilepaskan dari dirinya. Dengan sudah tidak memiliki ilmu kekebalan lagi akhirnya Buyut Jamudin dengan mudahnya dapat ditangkap oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pada saat itu Buyut Jamudin tidak mengakui bahwa dialah yang mencuri kerbau, karena memang sebenarnya beliau tidak mencuri, tetapi pemerintah belanda yang sudah lama mengincar Buyut jamudin tetap bersikukuh menyalahkan jamudin. Bukti dan fakta pencurian dua ekor kerbau ini sudah menjadikan alas an kuat belanda untuk menangkap Jamudin, sehingga para pengikut Jamudin sulit untuk melakukan pembelaan.

Buyut Jamudin setelah ditangkap dan diadili di pengadilan Belanda Ciamis, akhirnya dijatuhi hukuman dengan cara di asingkan ke Batavia, agar terpitis hubungannya dengan para pendukung beliau. Sebagian orang tua menyatakan bahwa buyut Jamudin di bawa ke Batavia itu untuk kemudian akan di buang ke luar Jawa. Namun setelah sampai di Batavia, Buyut Jamudin dengan menggunakan kemampuan ilmunya yang tersisa masih bias meloloskan diri dari tahanan Belanda. Dan pada akhirnya jamudin bersembunyi di pelabuhan Sunda Kelapa. Karena keadaan Buyut jamudin yang semakin sepuh dan sering mengalami sakit, Beliau tidak lama berada dipersembunyiannya, dan akhirnya Beliau meninggal dunia di daerah Sunda Kelapa. Menurut penuturan para sesepuh, jenazah buyut jamudin dimakamkan di luar Batang.

Pemberian hukuman kepada pejuang dengan cara dibuang ke tempat yang jauh dari masyarakat lingkungannya sudah merupakan kebiasaan pemerintah Belanda pada waktu itu.seperti tokoh Kuninganyang dibuang ke Batavia sampai akhir hayatnya meninggal dan di makamkan di Batavia, sehingga sampai sekarang berkas tempat pembuangannya disebut Kuningan di wilayah Kotamadya Jakarta Selatan sekarang ini.

Pemukiman Penduduk Di Pinggir Sungai Cijolang



Di pinggir Sungai Cijolang di area yang berbatasan dengan wilayah ciamis, ada juga rumah penduduk yang banyak ditumbuhi pohon-pohonan yang besar, dan diantaranya ada salah satu pohon terbesar dan tertinggi yang disebut dengan pohon Kitangkolo.

Lokasi tempat pohon Kitangkolo ini diperkirakan berada diantara pemukiman Tangkolo sekarang dan sungai Cigintung. Kemungkinan berada pada area pesawahan di sebelah timur jembatan penghubung antara Cigintung dan Bantar Dendeng.
Pemukiman Penduduk Di Sekitar Gunung Susuh

Pemukiman Penduduk Di Sekitar Gunung Susuh

Diperkirakan pada abad k2-17, diantara para petani yang berpindh kea rah selatan ini, ada juga petani lain yang datang dari subang barat sebanyak dua kepala keluarga dari satu keutrunan pedukunan cimanggang, yang memilih lokasi tinggal di daerah selatan. Mereka itu adalah kaka beradik.

Kakanya yang bernama candra diwangsa memilih tinggal di dataran yang agak tinggi di sebelah utara Gunung Susuh yaitu Cidempul sekarang, tetapi areal lokasi pertanian yang dipilih di daerah selatan yang berdekatan dengan sungai cijolang.

Sedangkan adiknya yang bernama candra dinata memilih tinggal di daerah selatan gunung susuh dan diperkirakan  berada di sebelah timur mesjid alfurqon mandalawangi, bahkan menurut penjelasan dari para sesepuh tepatnya di lokasi bekas rumah aki madnawi. Adiknya ini meimilih lokasi pertanian di dataran rendah juga, dengan mengambil lokasi dari selatan ke utara, memanjang mengikuti sepanjang sungai ciawi ke arah hulu.

Perlu ditambahkan disini bahwa migrasi penduduk dari  subang barat ke daerah sekitar gunung susuh, diperkirakan pada masa kuwu jayadirana yang menjabat kepala subang mulai dari  tahun 1725 – 1755 dan makom beliau berada di makam cimanggang.

Back To Top